Surat I
Mas
Hersri,
Saya
mengenal lebih dekat dengan pak Bronto ketika Band Komando pernah ”berdomisili”
di Unit XVI Indrakarya, pemukimanku ke 2 setelah Savanajaya. Walau pak Bronto
terlahir tetangga desa saya. Karena beda umur dan pak Bronto lebih dulu
merantau jauh ke kota. Hanya keluarga saya dekat, terutama Bapak saya yang satu
kam, satu bantal dengan paman beliau.
Akan
tetapi saya sudah pernah bertemu dan mendapatkan tanda tangan beliau (ketika
itu saya masih muda dan tren mengumpulkan tanda tangan orang-orang ternama) ketika pada sekitar
akhir bln Agustus 1965 di Istora BK, manakala diselenggarakan lomba Paduan Suara pada Konferensi Seni dan
Sastra Revolusioner (KSSR) di Jakarta.
Mungkin mas Hersri ikut menangani.
Di
Semarang Jawa Tengah, dalam menghadapi
salah satu acara KSSR di Jakarta yaitu lomba paduan suara, diadakan
latihan bagi paduan2 suara yang di TC
dari kota Jogya, Surakarta, Salatiga, Semarang dan Pekalongan. Terbentuklah 2
kelompok paduan suara yang diberi nama “Mekar Melati ” dan “Merah Kesumba” yang seingat saya
dijajaran pelatih ada Bung Sapto Priyo Jogya. TC paduan suara ini diadakan
beberapa bulan sebelum diberangkatkan ke Jakarta. Bahkan paduan suara ini
sempat untuk mengiringi pementasan Sendra Tari “Jayalah Partai dan Negeri”
bertempat di Gedung Audotorium UNDIP Pleburan, yang bangunannya belum selesai
benar.
Dalam
lomba paduan suara di Jakarta, berdatanganlah dari Medan “Maju tak gentar”, ada
dua kelompok. Dari Sumatra Barat, Sumatera Selatan – Palembang, Kalimantan
Barat, Jakarta ada 2 kelompok yaitu paduan suara “Gembira” dan “Jali-jali”,
Jawa Tengah 2 kelompok dan “Genta Suri” Surabaya. Seingat saya lomba diadakan
di gedung Lokasari. Entah dimana itu sekarang. Ketika setiap peserta lomba
sebelumnya mengadakan pemanasan, kami dari Jateng sempat minder. Namun berkat
dorongan Bung Sapto Piyo Jateng masih mendapat Juara Harapan. Paduan-paduan
suara yang sudah punya nama besar dan berkwalitas selain “Gembira” Jakarta, adalah “Maju tak Gentar”
Medan.
Sedang
penutupan dari seluruh rangkaian acara KSSR di adakan di Istora Bung Karno,
dimana Kawan Ketua sempat memberkan karangan bunga pada setiap peserta. Beberapa
hari sebelumnya seluruh paduan suara yang ada, dipersiapkan untuk penutupan
acara dilatih dan dipimpin oleh pak
Bronto dan musiknya. Disinilah saya sempat menemui pak Bronto. Karena satu
daerah kami sempat ngobrol tentang “kampong halaman”.
Pak
Bronto dalam kenangan saya.
(Koreksi
mas Hersri Pidato Resopim tidak di 17 Agustus1953. Kalau di Catatan
Surahmad setelah Dekrit Presiden 5 Juli
1959) :
17 Agustus 1959 – Penemuan Kembali Revolusi
kita
17
Agustus 1960 – Djarek (Jalannya Revolusi kita)
17
Agustus 1961 – Resopim
17
Agustus 1962 – Takem (Tahun Kemenangan)
17
Agustus 1963 – Gesuri (Genta Suara Revolisi)
17
Agustus 1964 – Tavip
17
Agustus 1965 _ Takari
Surat II
Surat II
Sekedar tambahan mas Hersri, dan hanya sekedar tambahan
“cerita” yang tercecer belaka.
Bahwa band Bantalanada bukannya band pertama yang “hadir” di
Inrehab P Buru. Penghuni Unit IV Savanajaya, yang hadir satu tahun sebelum kedatangan
Unit XIV Bantalareja, juga sudah membentuk band dan diberi nama Band Savana Nada.
Band ini terbentuk dan sudah mempunyai embrio sejak dari Kamsing Ambarawa, dan
mungkin sejak Kam Teperca Salatiga. Win Subiardjo asal Salatiga dan yang kemudian memegang gitar
melodi pada BandKo, adalah pemain gitar handal sejak dari Kam Teperca Salatiga, satu kelmpok music bersama saya dan Anggoro yg kemudian berpisah
menempati Unit VI. Dan ketika tapol dari Salatiga yang siap di
“Burukan” dititipkan lebih dahulu ke Kamsing Ambarawa, kelompok music Win Subiardjo diperkuat dengan kawan-kawan dari
Ambarawa seperti Gareng Selamet Sungkono, Jayus
dari Klaten, Leo Mulyono dan Joko Suprapto (joko Kendil) Jogja, Prapto Kiseng
dan Basuki Purwodadi, Suko Pati. Ketika dipindahkan ke Nusakambanagan, bertambah dengan Kancil
Gitoyo dan masih banyak lagi.
Dan begitu memasuki Unit IV Savanajaya, ditambah kawan-kawan dari Jakarta seperti Tedjo Bayu, Purwoko/Gombal, Darsono (kocomoto), Sukirman dan Daljono dari Pekalongan, Sony S Mangun, Sandi Soka, dan Mursid dari Jogja (Penghuni Barak Lama/ Unit Sanleko)
Dan begitu memasuki Unit IV Savanajaya, ditambah kawan-kawan dari Jakarta seperti Tedjo Bayu, Purwoko/Gombal, Darsono (kocomoto), Sukirman dan Daljono dari Pekalongan, Sony S Mangun, Sandi Soka, dan Mursid dari Jogja (Penghuni Barak Lama/ Unit Sanleko)
Savana Nada terdiri dari 3 irama music yaitu band yang
membawakan lagu-lagu pop diasuh oleh Win Subiarjo, irama Melayu diasuh oleh
Sukirman, seksi kroncong diasuh oleh Kancil Gitoyo sekali gus pemain cello.
Saya sendiri selain sebagai “pemain cadangan” pada gitar dan bas, juga
penyanyi, akan tetapi kemudian saya ditugaskan oleh Koordinator Cak Muji
Santosa untuk menjadi MC.
Band Savana Nada yang terdiri dari band, irama melayu dan
kroncong, beberapa kali di “undang” kalau tidak mau dikatakan corve pentas
music ke Namlea. Seperti ketika
kedatangan rombongan dokter-dokter yang kemudian ditugaskan ke
Unit-unit. Saya masih ingat pada waktu itu dik Basuki dan dik Purwoko sebagai pemain drum, cuma
berbekal ember plasik dikurepke, sapu lidi secukupnya pengganti brus dan
sepotong kayu sebagai stik. Baru beberapa waktu kemudian Tompel Martopo dari
Jogja berkreasi membuat drum dari seng dan kulit (rusa), Bas “betot” (bas besar, milik teman2 Barak
lama) dipegang oleh Gareng, gitar pengiring oleh Leo Mulyono dan Daljono (biar
ramai, karena hanya gitar akustik). Dan
agar pentas/suara kedengaran lebih “lengkap” Win Subiarjo menambahkan Jayus,
Suko dan Prapto Kiseng (Kiseng – wadanan), yang merupakakan pemain-pemain biola
sejak dari Ambarawa yang dilatih oleh Tamil (tahanan militer) bekas pelatih
music Akabri Magelang; memainkan biola yang diaransir sebagai latar belakang
musiknya.
Satu hal bila Savana Nada di sejajarkan dengan Bantala Nada,
Bantala Nada memiliki personil baik penyanyi maupun pemain sudah “punya
nama” sejak sebelum th 1965. Satu band
lagi yang bagus saat itu adalah band dari Unit XVII (apa Unit XVIII saya lupa)
dengan pemain drum Ira yang kemudian memperkuat BandKo. Sedang beberapa pemain Band Savana Nada yang ditarik ke BandKo selain Win Subiardjo yang ditarik sejak berdirinya , ditambah kemudian dengan Sandi Soka (penyanyi), Suko, Prapto dan Jayus sebagai pemain biola.
Dan ketika pada awal-awal kedatangan ibu-ibu dan anak-anak
keluarga Savanajaya, band Savana Nada cukup menghibur karena mereka merasa tertekan setelah mengetahui keadaan
suami yang sebenarnya. Selain pentas (live) pada waktu-waktu tertentu di gedung
Savanajaya lama (sebelum dibangun yang baru), Savana Nada setiap malam Minggu
mengadakan “siaran langsung” (on air) di Wsma atau gedung kesenian, yang gentora
(corongan Loud speakernya) dihadapkan ke pemukiman warga. Dan rupanya komentar
ibu-ibu, hal ini cukup menghibur. Oleh
karena itu acara saya tingkatkan seperti pilihan pendengar. Selain memang ada
yang meminta lagu untuk “siaran nanti malam”, saya terpaksa mempelajari
nama-nama ibu-ibu dan asalnya untuk kemudian saya pakai sebagai bahan “siaran” dengan
komentar dari pemesan lagu untuk yang dikirim dengan ucapan-ucapan sekenanya
asal menghibur (sebagai MC, saya rangkum sebagai pilihan pendengar).
Perkembangan “suka hibur” (meminjam istilah mas Hersri),
selanjutnya kami melibatkan anak-anak “keponakan”. Misalnya Eko anak pak Matali
Surabaya bermain drum. Kedatangan anak-anak / keluarga menambah perbendaharaan
lagu-lagu yang selama ini lagunya itu-itu saja. Lagu Nusantara V dari Koes Plus
pernah menjadi hit pada waktu itu.
Mas Tristuti (alm) dan mas Sudarno AS yang seorang pelatih
Sendra tari Ramayana Prambanan, sebelumnya bersama –sama teman yang lain sering pentas tari / fragmen
wayang orang. Dengan adanya anak-anak
Sudarno AS dkk. membuat sendra tari Ramayana dengan para pemain semua
anak2’ Sempat dipentaskan di Unit II, entah dalam acara apa saya lupa.
Demikian juga ludruk pimpinan cak Muji Santosa dengan tambahan warga Savanajaya yang
baru seperti cak Tawil yang disusul isterinya, pentas seni di Gedung Kesinan
yang baru semakin semarak. Belum kadang-kadang kedatangan rombongan kesenian
dari Unit baru seperti Unit tetangga Unit XIV Bantalareja, atau Unit lain.
Dan hiburan di Savanajaya yang tetap exis yang kemudian juga
ditarik ke Mako adalah wayang kulit
dengan ki dalang Tristuti Rahmadi Suryosaputro, setelah mas Tristuti sempat
dipindahkan ke Unit XIII Giri Pura.
Selanjutnya perkembangan “suka hibur” di pedesaan Savanajaya
saya kurang mengikuti setelah penghuni Unit IV “yang masih bujangan”
dipindahkan dan disebar ke Unit-unit atas. Tinggallah penghuni yang disusul
keluarganya. Jadi masih ada kurun waktu barang 1 tahun tapol yang tidak disusul
keluarga masih tinggal di Unit IV Savanajaya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar