Jumat, 06 Desember 2013

SURAT UNTUK MAS HERSRI SETIAWAN


Surat I


Mas Hersri,
Saya mengenal lebih dekat dengan pak Bronto ketika Band Komando pernah ”berdomisili” di Unit XVI Indrakarya, pemukimanku ke 2 setelah Savanajaya. Walau pak Bronto terlahir tetangga desa saya. Karena beda umur dan pak Bronto lebih dulu merantau jauh ke kota. Hanya keluarga saya dekat, terutama Bapak saya yang satu kam, satu bantal dengan paman beliau.
Akan tetapi saya sudah pernah bertemu dan mendapatkan tanda tangan beliau (ketika itu saya masih muda dan tren mengumpulkan tanda tangan  orang-orang ternama) ketika pada sekitar akhir bln Agustus 1965 di Istora BK, manakala diselenggarakan  lomba Paduan Suara pada Konferensi Seni dan Sastra Revolusioner  (KSSR) di Jakarta. Mungkin mas Hersri ikut menangani.
Di Semarang  Jawa Tengah, dalam menghadapi salah satu acara KSSR di Jakarta yaitu lomba paduan suara, diadakan latihan  bagi paduan2 suara yang di TC dari kota Jogya, Surakarta, Salatiga, Semarang dan Pekalongan. Terbentuklah 2 kelompok paduan suara yang diberi nama “Mekar Melati ”  dan “Merah Kesumba” yang seingat saya dijajaran pelatih ada Bung Sapto Priyo Jogya. TC paduan suara ini diadakan beberapa bulan sebelum diberangkatkan ke Jakarta. Bahkan paduan suara ini sempat untuk mengiringi pementasan Sendra Tari “Jayalah Partai dan Negeri” bertempat di Gedung Audotorium UNDIP Pleburan, yang bangunannya belum selesai benar.
Dalam lomba paduan suara di Jakarta, berdatanganlah dari Medan “Maju tak gentar”, ada dua kelompok. Dari Sumatra Barat, Sumatera Selatan – Palembang, Kalimantan Barat, Jakarta ada 2 kelompok yaitu paduan suara “Gembira” dan “Jali-jali”, Jawa Tengah 2 kelompok dan “Genta Suri” Surabaya. Seingat saya lomba diadakan di gedung Lokasari. Entah dimana itu sekarang. Ketika setiap peserta lomba sebelumnya mengadakan pemanasan, kami dari Jateng sempat minder. Namun berkat dorongan Bung Sapto Piyo Jateng masih mendapat Juara Harapan. Paduan-paduan suara yang sudah punya nama besar dan berkwalitas selain  “Gembira” Jakarta, adalah “Maju tak Gentar” Medan.
Sedang penutupan dari seluruh rangkaian acara KSSR di adakan di Istora Bung Karno, dimana Kawan Ketua sempat memberkan karangan bunga pada setiap peserta. Beberapa hari sebelumnya seluruh paduan suara yang ada, dipersiapkan untuk penutupan acara  dilatih dan dipimpin oleh pak Bronto dan musiknya. Disinilah saya sempat menemui pak Bronto. Karena satu daerah kami sempat ngobrol tentang “kampong halaman”.
Pak Bronto dalam kenangan saya.  
(Koreksi mas Hersri Pidato Resopim tidak di 17 Agustus1953. Kalau di Catatan Surahmad  setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959) :
 17 Agustus 1959 – Penemuan Kembali Revolusi kita
17 Agustus 1960 – Djarek (Jalannya Revolusi kita)
17 Agustus 1961 – Resopim
17 Agustus 1962 – Takem (Tahun Kemenangan)
17 Agustus 1963 – Gesuri (Genta Suara Revolisi)
17 Agustus 1964 – Tavip
17 Agustus 1965 _ Takari


Surat II 

 
Sekedar tambahan mas Hersri, dan hanya sekedar tambahan “cerita” yang tercecer belaka. 

Bahwa band Bantalanada bukannya band pertama yang “hadir” di Inrehab P Buru. Penghuni Unit IV Savanajaya, yang hadir satu tahun sebelum kedatangan Unit XIV Bantalareja, juga sudah membentuk band dan diberi nama Band Savana Nada. Band ini terbentuk dan sudah mempunyai embrio sejak dari Kamsing Ambarawa, dan mungkin sejak Kam Teperca Salatiga. Win Subiardjo  asal Salatiga dan yang kemudian memegang gitar melodi pada BandKo, adalah pemain gitar handal sejak dari Kam Teperca Salatiga,  satu kelmpok music bersama  saya dan Anggoro yg kemudian berpisah menempati Unit VI. Dan ketika tapol dari Salatiga yang siap di “Burukan” dititipkan lebih dahulu ke Kamsing Ambarawa, kelompok music  Win Subiardjo diperkuat dengan kawan-kawan dari Ambarawa seperti Gareng Selamet Sungkono,  Jayus dari Klaten, Leo Mulyono dan Joko Suprapto (joko Kendil) Jogja, Prapto Kiseng dan Basuki Purwodadi, Suko Pati. Ketika dipindahkan ke Nusakambanagan, bertambah dengan Kancil Gitoyo dan masih banyak lagi. 

Dan begitu memasuki Unit IV Savanajaya, ditambah kawan-kawan dari Jakarta seperti Tedjo Bayu, Purwoko/Gombal, Darsono (kocomoto), Sukirman dan Daljono dari Pekalongan, Sony S Mangun, Sandi Soka, dan Mursid  dari Jogja  (Penghuni Barak Lama/ Unit Sanleko)
Savana Nada terdiri dari 3 irama music yaitu band yang membawakan lagu-lagu pop diasuh oleh Win Subiarjo, irama Melayu diasuh oleh Sukirman, seksi kroncong diasuh oleh Kancil Gitoyo sekali gus pemain cello. Saya sendiri selain sebagai “pemain cadangan” pada gitar dan bas, juga penyanyi, akan tetapi kemudian saya ditugaskan oleh Koordinator Cak Muji Santosa untuk menjadi MC.

Band Savana Nada yang terdiri dari band, irama melayu dan kroncong, beberapa kali di “undang” kalau tidak mau dikatakan corve pentas music ke Namlea. Seperti ketika  kedatangan rombongan  dokter-dokter yang kemudian ditugaskan ke Unit-unit. Saya masih ingat pada waktu itu dik Basuki dan dik Purwoko sebagai pemain drum, cuma berbekal ember plasik dikurepke, sapu lidi secukupnya pengganti brus dan sepotong kayu sebagai stik. Baru beberapa waktu kemudian Tompel Martopo dari Jogja berkreasi membuat drum dari seng dan kulit (rusa),  Bas “betot” (bas besar, milik teman2 Barak lama) dipegang oleh Gareng, gitar pengiring oleh Leo Mulyono dan Daljono (biar ramai, karena  hanya gitar akustik). Dan agar pentas/suara kedengaran lebih “lengkap” Win Subiarjo menambahkan Jayus, Suko dan Prapto Kiseng (Kiseng – wadanan), yang merupakakan pemain-pemain biola sejak dari Ambarawa yang dilatih oleh Tamil (tahanan militer) bekas pelatih music Akabri Magelang; memainkan biola yang diaransir sebagai latar belakang musiknya.
Satu hal bila Savana Nada di sejajarkan dengan Bantala Nada, Bantala Nada memiliki personil baik penyanyi maupun pemain sudah “punya nama”  sejak sebelum th 1965. Satu band lagi yang bagus saat itu adalah band dari Unit XVII (apa Unit XVIII saya lupa) dengan pemain drum Ira yang kemudian memperkuat BandKo. Sedang beberapa pemain Band Savana Nada yang ditarik ke BandKo selain Win Subiardjo yang ditarik sejak berdirinya , ditambah kemudian dengan Sandi Soka (penyanyi), Suko, Prapto dan Jayus sebagai pemain biola.
Dan ketika pada awal-awal kedatangan ibu-ibu dan anak-anak keluarga Savanajaya, band Savana Nada cukup menghibur karena mereka  merasa tertekan setelah mengetahui keadaan suami yang sebenarnya. Selain pentas (live) pada waktu-waktu tertentu di gedung Savanajaya lama (sebelum dibangun yang baru), Savana Nada setiap malam Minggu mengadakan “siaran langsung” (on air) di Wsma atau gedung kesenian, yang gentora (corongan Loud speakernya) dihadapkan ke pemukiman warga. Dan rupanya komentar ibu-ibu,  hal ini cukup menghibur. Oleh karena itu acara saya tingkatkan seperti pilihan pendengar. Selain memang ada yang meminta lagu untuk “siaran nanti malam”, saya terpaksa mempelajari nama-nama ibu-ibu dan asalnya untuk kemudian saya pakai sebagai bahan “siaran”   dengan komentar dari pemesan lagu untuk yang dikirim dengan ucapan-ucapan sekenanya asal menghibur (sebagai MC, saya rangkum sebagai pilihan pendengar).
Perkembangan “suka hibur” (meminjam istilah mas Hersri), selanjutnya kami melibatkan anak-anak “keponakan”. Misalnya Eko anak pak Matali Surabaya bermain drum. Kedatangan anak-anak / keluarga menambah perbendaharaan lagu-lagu yang selama ini lagunya itu-itu saja. Lagu Nusantara V dari Koes Plus pernah menjadi hit pada waktu itu.
Mas Tristuti (alm) dan mas Sudarno AS yang seorang pelatih Sendra tari Ramayana Prambanan, sebelumnya bersama –sama  teman yang lain sering pentas tari / fragmen wayang orang. Dengan adanya anak-anak  Sudarno AS dkk. membuat sendra tari Ramayana dengan para pemain semua anak2’ Sempat dipentaskan di Unit II, entah dalam acara apa saya lupa.
Demikian juga ludruk pimpinan cak Muji  Santosa dengan tambahan warga Savanajaya yang baru seperti cak Tawil yang disusul isterinya, pentas seni di Gedung Kesinan yang baru semakin semarak. Belum kadang-kadang kedatangan rombongan kesenian dari Unit baru seperti Unit tetangga Unit XIV Bantalareja, atau Unit lain.
Dan hiburan di Savanajaya yang tetap exis yang kemudian juga ditarik ke Mako adalah wayang kulit  dengan ki dalang Tristuti Rahmadi Suryosaputro, setelah mas Tristuti sempat dipindahkan ke Unit XIII Giri Pura.
Selanjutnya perkembangan “suka hibur” di pedesaan Savanajaya saya kurang mengikuti setelah penghuni Unit IV “yang masih bujangan” dipindahkan dan disebar ke Unit-unit atas. Tinggallah penghuni yang disusul keluarganya. Jadi masih ada kurun waktu barang 1 tahun tapol yang tidak disusul keluarga masih tinggal di Unit IV Savanajaya.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar