Minggu, 08 Desember 2013

LAHIRNYA PRIYAYI

LAHIRNYA PRIYAYI

30 April 2011 pukul 21:39
            Didalam menyambut Meiday, saya tulis bagian lain dari tulisan saya “Kartini dan kenangan bersama Pramudya A.T” yang sempat saya tulis saat menyambut Hari Kartini 21 April lalu, “Kenangan Lama“ . Berikut ini cuplikan lainnya “ Lahirnya Priyayi “, karena Priyayi ikut ambil bagian didalam menindas kaum buruh.

            LAHIRNYA PRIYAYI
            Satu lapisan masyarakat baru yang lahir di bumi Jawa / Indonesia pada masa penjajahan Belanda di Nusantara adalah Kaum Priyayi. Sebelum kedatangan penjajah Belanda di negeri ini hanya ada dua lapisan masyarakat, yaitu Kaum Bangsawan yang sekali gus tuan-tuan tanah karena memiliki tanah yang luas dan kekuasaan yang besar, orang Jawa mengataan Kaum Ningrat. Sedang lapisan masyarakat yang lain adalah Kawulo Alit, Wong cilik, yaitu rakyat jelata biasa yang terdiri dari kaum tani dan kaum pocok / pekerja lainnya.
            Pada waktu-waktu tertentu Kawulo Alit ini harus menyerahkan “wulu wetune tetaten” / hasil bumi sebagai “asok glondong pengarem-arem” / upeti kepada Kaum Bangsawan, Sang Penguasa. Dan baru pada waktu Nusantara menjadi jajahan Inggris dibawah Raffles tanah dinyatakan sebagi milik negara. Karena itu bagi yang menempati atau memiliki harus membayar pajak. Kaum tani dan kawulo alit lainnya selain sebagai sumber pangan, juga sumber tenaga bahkan sumber kekayaan dan kemewahan bagi kaum Ningrat. Lebih-lebih lagi demi menopang kekuasaan dan kelanjutan kekuasaannya.
            Keadaan dengan cara-cara seperti ini selalu diberlakukan kapan dan dimana saja, selama masih ada penindasan manusia atas manusia. Selama sistem pemerintahan masih memungkinkan adanya penindasan dan penghisapan manusia atas manusia. Tak pelak lagi dengan sistem Kapitalis, maka pemilik kapital akan menerapkan prinsip-prinsip ekonomi sebaik mungkin yaitu mengambil keuntungan sebesar-besarnya dengan ongkos sekecil-kecilnya, walau harus mengambil keuntungan dengan memeras keringat rakyat dari bangsanya sendiri. Dimanapun dan kapanpun.
            Ketika VOC datang ke negeri ini untuk berdagang rempah-rempah, namun kemudian “alih profesi” menjadi penjajah, tepatnya setelah VOC bangrut dan menyerahkan kekuasaan koloninya kepada Pemerintah Kerajaan Belanda; maka demi menutup kerugian /onkos akibat pemberontakan melawan Belanda dan yang terakhir adanya Perang Diponegoro, maka Penjajah Belanda memberlakukan “Tanam Paksa / Culturstelsel”. Sebuah “proyek” Belanda untuk memaksa penduduk jajahan menanam tanaman yang diperlukan perdagangan Belanda di Eropa. Sedang rakyat tak bertanah diharuskan kerja paksa/rodi diperkebunan-perkebunan milik Belanda. Belanda berhasil melaksanakan perbudakan di tanah jajahan tanpa UU Perbudakan, jauh setelah jaman Perbudakan berlalu.
            Akibatnya luar biasa. Hasil bumi Nusantara berhasil membangun ekonomi dan keuangan Belanda. Bahkan merupakan tanah jajahan besar yang ikut menentukan perekonomian dunia pada waktu itu. Sementara itu di bumi Nusantara sendiri rakyatnya dilanda kemiskinan dan kelaparan dan mengakibatkan kematian dimana-mana.
            Penderitaan kaum Pribumi tidak terbatas sampai disini. Seiring dengan pandangan baru yang melanda Eropa pada waktu itu - yaitu Liberalisme Borjuasi - , kaum Liberal Belanda menyarankan adanya Politik Etis (Politik Balas Budi). Maka pemerintah jajahan demi melaksanakan Politik Balas Budi kepada kaum Pribumi, dibangunlah jalan-jalan raya, irigasi, jalan-jalan kereta api, pelabuhan-pelabuhan. Walau dalam kenyataannya semua itu dibangun demi lebih mengintensifkan eksploatasi pengerukan hasil bumi, rempah-rempah dan tambang untuk kemakmuran negeri penjajah Belanda. Banyak tenaga kerja yang dibutuhkan untuk pembangunan ini. Namun bukanlah penjajah kalau kebutuhan tenaga ini didapatkan tidak dengan biaya yang murah, yaitu kerja paksa bagi penduduk yang dijajah. Banyak jatuh korban mati kelaparan dalam pembangunan ini . Ingat jalan Deandeles, sekarang kita kenal sebagai jalan Pantura.
            Untuk selanjutnya pemerintah membutuhkan banyak sekali tenaga-tenaga kerja atau pegawai. Pegawai-pegawai itu tidak semua didatangkan dari negeri Belanda.. Pegawai rendahan yang tidak menduduki posisi penting, diambilkan dari  penduduk Pribumi. Mereka diambil dari kaum Ningrat yang tinggal ditanah jajahan, sebagian lagi dari Pribumi biasa yang tentunya mempunyai kesetiaan yang tinggi terhadap Penjajah.Belanda. Pegawai yang diangkat Belanda dari kalangan Pribumi tidak hanya pegawai rendahan, tapi juga klerk, amtenar dan bupati.
            Dalam perjalanan kehidupan pada masa penjajahan Belanda ini telah melahirkan lapisan masyarakat baru yaitu msyarakat yang berasal dari kaum Pribumi yang menjadi pegawai pemerintah Kolonial Belanda. Orang Jawa kemudian memberi nama kepada mereka ini dengan kaum Priyayi. Kaum Birokrat Pribumi (kaum Priyayi) ini pada kesempatan-kesempatan yang ada ikut memungut hasil dari kaum tani dan rakyat kecil lainnya. Diantara mereka yang bersikap memusuhi rakyat  dicap sebagai “antek Londo”. Pengikut / bekerja pada orang lain yang merugikan rakyat, dinamai “antek”.
            Saya masih ingat ketika kecil, dalam masyarakat pedesaan ada istilah “ngenger atau ngawulo”. Pasti itu berasal dari kata kawulo. Kawulo, orang rendahan / wong cilik yang ngawulo/mengabdi kepada orang lain yang disebut “bendoro”. Bendoro itu boleh memerintah melaksanakan suatu pekerjaan apapun dengan memberi gaji yang tidak setara dengan hasil kerjanya, boleh memecatnya kapan bendoro mau terhadap kawulonya. Lapisan masyarakat sekarang menjadi empat, yaitu kaum ningrat/feodal, kaum penjajah Belanda, kaum Priyayi dan Kawulo alit (Kaum buruh dan Tani). Dan Kaum Buruh dan Tani (Tani kecil/buruh Tani) inilah lapisan paling bawah yang menjadi sasaran penindasan dari tiga lapisan masyarakat yang terdahulu. Itu dijaman penjajahan.
            “Nah kaum Priyayi ini sampai sekarang kok tidak mau bertobat . . . . “ komentar Pak Pramudya Ananta Toer dengan mesem kecut berkepanjangan ketika sempat berbagi kisa

Tidak ada komentar:

Posting Komentar