Minggu, 08 Desember 2013

"Mereka yang belum pulang"


Senin, 30 September 2013 10:46 WIB

Sarasehan 'Mereka yang Belum Pulang'


NU dan PKI Sama-sama Korban Peristiwa G30S

Rhobi Shani
Sarasehan 'Mereka yang Belum Pulang' di gedung NU dalam rangka menyambut peringatan G30 S, Minggu, 29 September 2013. (Jaringnews/Rhobi Shani)
Indonesia tanah air beta, pusaka abadi nan jaya, Indonesia sejak dulu kala, tetap di puja-puja bangsa. Di sana tempat lahir beta, dibuai di besarkan bunda, tempat berlindung di hari tua, sampai akhir menutup mata…


JEPARA, Jaringnews.com – Lagu Indonesia Pusaka karangan Ismail Marzuki itu menjadi pembuka cerita Bambang Soekotjo, salah satu korban G30 S atau yang sering disebut peristiwa ‘65. Dalam acara sarasehan berlabel “Mereka yang Belum Pulang”, eks tahanan politik (tapol) di Pulau Buru itu memberikan kesaksian bagaimana sejatinya peristiwa ‘65 terjadi. Setidaknya apa yang dirasakan dan dialami warga Desa Ngemplak, Kecamatan Margoyoso, Kabupaten Pati, pada kala itu.

“Saat itu saya masih kuliah di Undip (Universitas Diponegoro), tahu-tahu dikumpulkan di auditorium terus sampai Pulau Buru,” ujar Bambang disusul kelakar tawa menghapus duka.

“Kenapa saya awali dengan lagu itu, karena lagu itulah yang mampu menyatukan kita tanpa memandang perbedaan. Lagu itulah yang dapat membangkitklan rasa nasionalisme kita,” tegas Bambang.

Lebih lanjut Bambang menguraikan, meski kini telah dikembalikan pada masyarakat, kebebasan dan kemerdekaan sebagai warga negara yang seutuhnya belum didapat. Pasalnya, Bambang beserta korban eks tapol merasa hak sebagai warga negera belum kembali seutuhnya.

“Kebebasan yang diberikan oleh pemerintah Orde Baru kepada korban tragedi ‘65 dirasakan sebagai kebebasan semu bagi layaknya manusia seutuhnya,” terang Bambang.

Aku iki salahku apa, apa salahku (saya ini salah apa, apa salah saya)?" imbuh Bambang.

Selain menghadirkan sejumlah korban tragedi ‘65, sarasehan yang diprakarsai Loker Dokumenter Film dan lebaga kesenian NU, Lesbumi, di Gedung NU pada Minggu (29/9) malam, itu juga menghadirkan Muslim Aisha, peneliti yang pernah melakukan penelitian seputar peristiwa ‘65 di Kabupaten Jepara.

Muslim menyampaikan, secara umum peristiwa ’65 pihak-pihak yang tak dapat dilunturkan begitu saja dalam catatan sejarah diantaranya NU dan Partai Komunis Indonesia (PKI). Dimana kedua organisasi tersebut dinilai Muslim sama-sama pihak yang menjadi korban.

“NU menjadi korban hasutan militer, sedangkan PKI adalah yang dikorbankan. Pada masa itu siapa yang tidak bangga pegang senjata. Kalau sudah pegang senjata merasa yang paling gagah, ditambah hasutan cerita-cerita tentang PKI yang ateis, keji, pembunuh dan yang ngeri-ngeri lainnya membuat masyarakat (NU) terdorong untuk menghabisi PKI,” papar Muslim.

Sementara itu, Ketua Lesbumi Jepara M Nuh Thabroni yang menerima dan sadar bahwa NU juga menjadi korban, sebelum acara berakhir pihaknya memintakan maaf kesalahan para algojo-algojo dari pihak NU yang telah membunuh, menyiksa, atau menyakiti masyarakat yang terlibat PKI ataupun tidak.

Sebagai pamungkas acara sarasehan tersebut, Pendeta Gereja Injili di Tanah Jawa (GITJ) Danang Kristiawan mengajak semua pihak untuk jujur mengakui sejarah yang ada. Penglupaan sejarah korban adalah bentuk pengingkaran fakta bahwa pernah di negeri ini manusia dalam titik terendah kemanusiaannya.

“Kita harus sadar bahwa rekonsiliasi tidak sama dengan penglupaan sejarah. Rekonsiliasi yang sejati justru kalau kita mau jujur mengakui sejarah air mata di negeri ini,” ajak Danang.
(Rhs / Nky)






Senin, 30 September 2013 13:30 WIB
Sarasehan 'Mereka yang Belum Pulang'
Sumini, Mantan Aktivis Gerwani Bersaksi
Rhobi Shani
Sumini (tengah) memberikan kesaksian seputar peristiwa G30S di gedung NU Jepara, Minggu, 29 September 2013. (Jaringnews/Rhobi Shani)
“Saya dituduh perempuan dari Jakarta yang terlibat dalam tarian Harum Bunga di Lubang Buaya yang mencungkil mata, menyilati badan dan memotong penis para jenderal.”
JEPARA, Jaringnews.com – Meski usianya tak lagi muda, Debora Sumini (66), warga Desa Runting, Kecamatan Pati, Kabupaten Pati, masih bersemangat menceritakan pengalaman pahit yang dialaminya dan bagaimana sesungguhnya peristiwa G30S terjadi. Tarian Harum Bunga yang diklaim rezim otoritarian Jenderal Soeharto sebagai tarian keji yang dilakukan Gerakan Wanita Indonesia (Gerwani) dimentahkan mantan aktivis Gerwani Kabupaten Pati itu.

“Waktu itu saya baru masuk tiga bulan di Egom (perguruan tinggi pertanian di Bogor bentukan PKI), kemudian oleh pimpinan kampus semua mahasiswa disuruh kembali ke daerah asalnya masing-masing karena katanya kampus ada masalah intern,” ujar Sumini membuka kesaksiannya dalam acara sarasehan mengenang peristiwa G30S di gedung NU Jepara pada, Minggu (29/9) malam.

Di hadapan puluhan peserta sarasehan, Sumini membeberkan pengalaman pahit yang dialaminya. Sepanjang perjalanan dari Bogor menuju rumahnya di Pati, Sumini melihat pemandangan yang tidak kondusif. Informasi yang Sumini terima, sejumlah temannya sesama aktivis Gerwani sudah tidak lagi di rumahnya masing-masing.

“Ada yang lari bersembunyi ke rumah-rumah saudara, ada yang sudah ditangkap, dan ada juga yag sudah dibunuh. Waktu itu saya Ketua Gerwani Pati, karena saya bingung mau kemana lagi, akhirnya saya ditangkap di Juwana,” ujar perempuan yang berulang tahun pada 23 Desember ini.

Kepada Jaringnews.com, Sumi menceritakan kekerasan dan pelecehan seksual yang dialaminya selama pemeriksaan di Pati selama enam bulan. Sebelum pada akhirnya dipindahkan ke tahanan wanita Bulu di Semarang pada 30 April 1966. Sumini sering mendapatkan perlakuan yang sangat tidak manusiawi. Tidak hanya sekali atau dua kali, Sumini menerima pelecehan seksual dengan dipaksa mengulum penis para pemeriksa.

“Saya dituduh perempuan dari Jakarta yang terlibat dalam tarian Harum Bunga di Lubang Buaya yang mencungkil mata, menyilati badan, dan memotong penis para jenderal. Pertanyaannya selalu itu dan saya dipaksa menjawab iya,” urai Sumini sembari meneteskan air mata.

“Kalau saya tidak menjawab, saya terus ditendang, disundut rokok dan dilecehkan. Padahal peristiwa itu bohong, saat dilakukan pemeriksaan terhadap jasad para jenderal, semua utuh. Penisnya pun tidak ada yang dipotong,” imbuh Sumini.

Siapa dalang peristiwa G30S sampai sekarang masih kontroversi. Disampaikan Sumini, dikatakan PKI memberontak, namun PKI nyata-nyata tidak mengangkat senjata terhadap pemerintah. Dampaknya tuduhan ini, anak-anak orang PKI yang lahir setelah tahun 1965 ikut mendapat stigma sebagai anak PKI yang terlibat G30S.

“Saya minta kepada anak-anakku generasi penerus bangsa betul-betul mendalami dan memahami sejarah dan jangan sekali-kali meninggalkan sejarah seperti pidato Bung Karno untuk mengenali sejarah bangsanya,” pungkas perempuan berkacamta itu.
(Rhs / Nky)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar