Pram adalah Sebuah Buku
Selasa, 19
Februari 2013 | 21:12 WIB
Dibaca: 717
Komentar:
-

AHSANUL
MAHDZI
Suasana mengenang hari lahir Pram di Jalan Sumbawa 40, Jetis, Blora, Jawa Tengah, Minggu (10/2).
Sekitar 88 tahun silam, tepatnya
6 Februari 1925, ia terlahir di bumi Nusantara. Dan 7 tahun sudah dia
meninggalkan kita. Dialah Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang
namanya masuk nominasi penghargaan Nobel Sastra.elang empat hari setelah tanggal lahirnya, pada 10 Februari 2013, di Jalan Sumbawa 40, Jetis, Blora, Jawa Tengah, di rumah tempat Pram dilahirkan dan dibesarkan digelar peringatan miladnya ke-88.
Kini, rumah itu ditempati Soesilo Toer, adik ke-6 Pram. Di rumah itu pula Soesilo mendirikan Perpustakaan PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa). Malam itu, bekerja sama dengan penerbit Gigih Pustaka Mandiri, Semarang, perpustakaan ini menggelar acara ”Mengenang Pram Dari Dalam”.
Sekitar pukul 19.30, sekitar 30 orang berkumpul di ruang tamu. Mereka duduk beralas tikar, berimpit-impitan, tetapi semua menikmati diskusi yang dibuka Bambang Soekotjo (68), kawan Pram saat dibuang di Pulau Buru.
Bambang yang berasal dari Pati, Jateng, sebelum dibuang di Pulau Buru, aktif dalam organisasi Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) semasa kuliah di Jurusan Ekonomi Perusahaan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro (tak tamat). Organisasi itu dianggap onderbouw Partai Komunis Indonesia.
Bambang masuk Pulau Buru pada tahun 1969. Ia menempati unit 4, lalu dipindahkan ke unit 16. ”Di sana ada 20 unit dan pada waktu itu Pak Pram menempati unit 3,” tuturnya.
Pada 1978-1979 ia baru mengenal Pram. Ketika itu Pram sudah dipindah ke markas komando (mako). Mako adalah ruang khusus yang dihuni orang-orang penting, salah satunya Pram. Di situlah, di dalam ruangan seluas 2 meter x 3 meter, Pram menulis karya-karyanya.
”Saya pernah disuruh mengoreksi ejaan dari beberapa karyanya, seperti Mangir, Arus Balik, dan Tetralogi Buru. Beliau (Pram) senang dengan anak muda. Banyak orang selain saya yang disuruh membaca dan mengoreksi karyanya. Kebanyakan dari mereka yang dititipi itu menyukai sastra karena ketika bertemu yang diobrolkan seputar penulisan sastra,” kata Bambang.
Sejarah Indonesia
Hari semakin malam, hujan pun turun tanpa sungkan. Namun, suasana semakin hangat ketika segenap kenangan tentang Pram diungkapkan beberapa peserta diskusi. Kali ini kenangan itu hadir dari pembaca karya Pram.
Afida (27), perempuan yang tinggal di Semarang, mantan aktivis Lembaga Pers Mahasiswa Amanat Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, itu mengatakan, karya Pram yang dibacanya pertama kali adalah Bumi Manusia.
Baginya, novel itu melekat dalam pikiran karena menceritakan sejarah Indonesia yang tidak melelahkan. Tak seperti waktu ia belajar sejarah semasa kecil. ”Ketika membaca novel itu, saya benar-benar bisa membayangkan bagaimana kondisi Indonesia pada zaman penjajahan.”
Akhir-akhir ini ia masih membaca Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Bagi Afida, buku itu menyesakkan, selalu ada rasa sakit hati terhadap penjajahan.
Setelah itu giliran Asep Mufti (28), pengacara yang mengenang Pram. ”Setelah saya membaca karya Pram, saya mencoba membuat pleidoi untuk persidangan dengan gaya bahasa bercerita,” katanya.
Menurut dia, selama ini isi pleidoi persidangan banyak menggunakan bahasa yang sulit. Akibatnya, bisa jadi hakim malas membaca pleidoi.
Selain diskusi mengenang Pram, Penerbit Gigih Pustaka Mandiri juga menjual buku berjudul Pram Dari Dalam. Buku itu karya Soesilo Toer, seseorang yang digambarkan sebagai anak kecil dalam buku Pram, Bukan Pasar Malam.
”Kalau Anda pernah membaca Bukan Pasar Malam, di situ ada anak kecil yang suka menangis, itulah saya,” ucap Soesilo (76).
Karya terlarang
Kenangan demi kenangan terus diungkap. Gunawan Budi Susanto (52), editor buku Pram Dari Dalam, menyatakan, ia baru mengenal karya Pram ketika kuliah di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, pada tahun 1982.
”Waktu itu karya Pram masih terlarang di fakultas sastra. Jangan harap buku itu ada di perpustakaan atau menjadi bahan skripsi. Baru tahun 1984-1985 buku-buku Pram beredar di fakultas sastra. Itu pun sulit didapatkan karena pada waktu itu membaca dan mendiskusikan karya Pram berarti siap masuk penjara,” katanya mengenang.
Ia menambahkan, pada waktu itu banyak teman yang harus masuk penjara hanya karena membaca dan mendiskusikan karya Pram.
”Beberapa teman dari Studi Sosial Palagan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang saya kenal dan yang harus masuk penjara, seperti Bonar Tigor Naipospos, Bambang Subono, dan Bambang Isti Nugroho,” ujar Gunawan.
Ada pula Budi Maryono (32) dari Gigih Pustaka Mandiri yang berkata, ”Ketika saya membaca Rumah Kaca, keadaan itu persis menggambarkan kondisi Indonesia pada Orde Baru, tepatnya 1998.”
Itulah Pram. Ia adalah buku. Buku bisa dilarang, dibakar, dan dibuang, tetapi dia abadi.
Ahsanul Mahdzi Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan PGRI Semarang, Jawa Tengah
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Jodhi Yudono

Tidak ada komentar:
Posting Komentar