Sabtu, 26 Oktober 2013

MENGENANG PRAM DI BLORA


Pram adalah Sebuah Buku
Selasa, 19 Februari 2013 | 21:12 WIB
Dibaca: 717
Share:
AHSANUL MAHDZI

Suasana mengenang hari lahir Pram di Jalan Sumbawa 40, Jetis, Blora, Jawa Tengah, Minggu (10/2).
Sekitar 88 tahun silam, tepatnya 6 Februari 1925, ia terlahir di bumi Nusantara. Dan 7 tahun sudah dia meninggalkan kita. Dialah Pramoedya Ananta Toer, sastrawan Indonesia yang namanya masuk nominasi penghargaan Nobel Sastra.
elang empat hari setelah tanggal lahirnya, pada 10 Februari 2013, di Jalan Sumbawa 40, Jetis, Blora, Jawa Tengah, di rumah tempat Pram dilahirkan dan dibesarkan digelar peringatan miladnya ke-88.
Kini, rumah itu ditempati Soesilo Toer, adik ke-6 Pram. Di rumah itu pula Soesilo mendirikan Perpustakaan PATABA (Pramoedya Ananta Toer Anak Semua Bangsa). Malam itu, bekerja sama dengan penerbit Gigih Pustaka Mandiri, Semarang, perpustakaan ini menggelar acara ”Mengenang Pram Dari Dalam”.
Sekitar pukul 19.30, sekitar 30 orang berkumpul di ruang tamu. Mereka duduk beralas tikar, berimpit-impitan, tetapi semua menikmati diskusi yang dibuka Bambang Soekotjo (68), kawan Pram saat dibuang di Pulau Buru.
Bambang yang berasal dari Pati, Jateng, sebelum dibuang di Pulau Buru, aktif dalam organisasi Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia (CGMI) semasa kuliah di Jurusan Ekonomi Perusahaan Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro (tak tamat). Organisasi itu dianggap onderbouw Partai Komunis Indonesia.
Bambang masuk Pulau Buru pada tahun 1969. Ia menempati unit 4, lalu dipindahkan ke unit 16. ”Di sana ada 20 unit dan pada waktu itu Pak Pram menempati unit 3,” tuturnya.
Pada 1978-1979 ia baru mengenal Pram. Ketika itu Pram sudah dipindah ke markas komando (mako). Mako adalah ruang khusus yang dihuni orang-orang penting, salah satunya Pram. Di situlah, di dalam ruangan seluas 2 meter x 3 meter, Pram menulis karya-karyanya.
”Saya pernah disuruh mengoreksi ejaan dari beberapa karyanya, seperti Mangir, Arus Balik, dan Tetralogi Buru. Beliau (Pram) senang dengan anak muda. Banyak orang selain saya yang disuruh membaca dan mengoreksi karyanya. Kebanyakan dari mereka yang dititipi itu menyukai sastra karena ketika bertemu yang diobrolkan seputar penulisan sastra,” kata Bambang.

Sejarah Indonesia
Hari semakin malam, hujan pun turun tanpa sungkan. Namun, suasana semakin hangat ketika segenap kenangan tentang Pram diungkapkan beberapa peserta diskusi. Kali ini kenangan itu hadir dari pembaca karya Pram.
Afida (27), perempuan yang tinggal di Semarang, mantan aktivis Lembaga Pers Mahasiswa Amanat Institut Agama Islam Negeri Walisongo, Semarang, itu mengatakan, karya Pram yang dibacanya pertama kali adalah Bumi Manusia.
Baginya, novel itu melekat dalam pikiran karena menceritakan sejarah Indonesia yang tidak melelahkan. Tak seperti waktu ia belajar sejarah semasa kecil. ”Ketika membaca novel itu, saya benar-benar bisa membayangkan bagaimana kondisi Indonesia pada zaman penjajahan.”
Akhir-akhir ini ia masih membaca Jalan Raya Pos, Jalan Daendels. Bagi Afida, buku itu menyesakkan, selalu ada rasa sakit hati terhadap penjajahan.
Setelah itu giliran Asep Mufti (28), pengacara yang mengenang Pram. ”Setelah saya membaca karya Pram, saya mencoba membuat pleidoi untuk persidangan dengan gaya bahasa bercerita,” katanya.
Menurut dia, selama ini isi pleidoi persidangan banyak menggunakan bahasa yang sulit. Akibatnya, bisa jadi hakim malas membaca pleidoi.
Selain diskusi mengenang Pram, Penerbit Gigih Pustaka Mandiri juga menjual buku berjudul Pram Dari Dalam. Buku itu karya Soesilo Toer, seseorang yang digambarkan sebagai anak kecil dalam buku Pram, Bukan Pasar Malam.
”Kalau Anda pernah membaca Bukan Pasar Malam, di situ ada anak kecil yang suka menangis, itulah saya,” ucap Soesilo (76).

Karya terlarang
Kenangan demi kenangan terus diungkap. Gunawan Budi Susanto (52), editor buku Pram Dari Dalam, menyatakan, ia baru mengenal karya Pram ketika kuliah di Jurusan Sastra Indonesia Fakultas Sastra Universitas Diponegoro, pada tahun 1982.
”Waktu itu karya Pram masih terlarang di fakultas sastra. Jangan harap buku itu ada di perpustakaan atau menjadi bahan skripsi. Baru tahun 1984-1985 buku-buku Pram beredar di fakultas sastra. Itu pun sulit didapatkan karena pada waktu itu membaca dan mendiskusikan karya Pram berarti siap masuk penjara,” katanya mengenang.
Ia menambahkan, pada waktu itu banyak teman yang harus masuk penjara hanya karena membaca dan mendiskusikan karya Pram.
”Beberapa teman dari Studi Sosial Palagan di Universitas Gadjah Mada Yogyakarta yang saya kenal dan yang harus masuk penjara, seperti Bonar Tigor Naipospos, Bambang Subono, dan Bambang Isti Nugroho,” ujar Gunawan.
Ada pula Budi Maryono (32) dari Gigih Pustaka Mandiri yang berkata, ”Ketika saya membaca Rumah Kaca, keadaan itu persis menggambarkan kondisi Indonesia pada Orde Baru, tepatnya 1998.”
Itulah Pram. Ia adalah buku. Buku bisa dilarang, dibakar, dan dibuang, tetapi dia abadi.
Ahsanul Mahdzi Jurusan Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan Fakultas Pendidikan Ilmu Pengetahuan Sosial Institut Keguruan dan Ilmu Pengetahuan PGRI Semarang, Jawa Tengah
Sumber :
Kompas Cetak
Editor :
Jodhi Yudono

KARTINI DAN KENANGAN BERSAMA PRAMUDYA ANANTA TOER


"KARTINI DAN KENANGAN BERSAMA PRAMUDYA ANANTA TOER"

 
Saya lebih mengenal RA Kartini dari buku karya sastra Pramudya Ananta Toer “Panggil Aku Kartini Saja” . Saya mempunyai kenangan bersama Pak Pram yang saya tulis “Kartini dan kenangan bersama Pramudya Ananta Toer”. Berikut ini sebagian cuplikannya :

KENANGAN LAMA.
Pada awal tahun 2000an, manakala aku membaca tentang Kartini di sebuah majalah dari Pemda Pati, kenangan saya menjadi nglangut. Aku juga teringat buku yang pernah aku baca di tahun 1967an, yang aku pinjam dari sebuah perpustakaan di Benoyo Salatiga.
Sebuah karya sastrawan besar yang dinominasikan untuk mendapat hadiah Nobel : Pramudya Ananta Toer yang berjudul “Panggil Aku Kartini Saja”. Sebuah buku yang memuat surat-surat Kartini dengan sahabat penanya Stella (Estelle Zeehandelaar), Nyonya Abendanon di Negeri Belanda dan masih banyak lagi. Dengan gaya sastra Pramudya A.T. ,diedit dan diulas dengan ketajaman cara berfikir Pram yang menurutku tidak dimiliki oleh pengarang lainnya dalam mengangkat Kartini, menjadi karya sastra yang indah dan menarik. Judul “Panggil Aku Kartini Saja” diambil dari kalimat diantara surat-surat Kartini sendiri.
Sekitar sepuluhan tahun kemudian, sejak aku ”tinggal” di Salatiga saya sempat bertemu dengan Pak Pram dan membicarakan buku beliau “Panggil Aku Kartini Saja”. Mengenang penulisan buku itu wajah pak Pram mendadak muram. Pandangannya menerobos jendela disamping jauh kearah kolam ikan diluar sana. Dengan once masih menggelayut dibibir yang baru saja dijejali “tembakau hijau” (tembakau rajangan yang belum kering benar dan masih berwarna kehijauan dengan bau yang jauh dari sedap), pak Pram mulai mengenang masa lalu :
-- Itulah Mbang . . . – diambil once dari bibirnya. Pandangan pak Pram masih terpaut diluar sana.
-- Saya kumpulkan data dan informasi tentang Kartini. Saya melakukan perjalanan jauh ke Jepara, Jawa Tengah. Ke Mayong dengan naik bendi.Dekat rumahmu kan? – pak Pram bertanya ringan tanpa menoleh dan tanpa ekspresi. Dan akupun mengangguk walau aku tahu pak Pram tidak melihatku.
-- Di Mayong saya mendapat banyak data dan informasi, juga foto Kartini ketika masih kecil yang saya ambil tergantung di soko guru rumah keluarganya – Pak Pram mengambil nafas dalam-dalam mengenang masa silam, seakan lepas dari himpitan yang menyesakkan dada. Tiba-tiba dengan hanya dipisahkan mesin ketik butut diatas meja yang terbuat dari sebetan kayu mranti, pak Pram memandang tajam kearah saya, bertanya :
-- Sekarang dimana semua data dan dokumen penting tentang Kartini itu, Mbang? – Saya tahu pertnyaan itu tidak bisa saya jawab. Dan saya tidak menjawab karena hanya pak Pram yang tahu jawabnya. Suasana hening, tenggorakanku serasa kering. Sorot mata pak Pram melumat habis sorot mataku yang beradu pandang, seakan sayalah yang akan dijadikan korban amuk hatinya. Dengan bibir tanpa once yang mengkerut dikeraskan dan badan dicondongkan kedepan, pertanyaannya diulang dengan lebih serious :
-- Dimana ?? – Seakan pak Pram menginterogasi saya. Tergetar hatiku dan aku tetap masih saja diam. Suasana hening masih saja menyelimuti ruangan 2x3 M yang terbuat dari papan mranti, di Kompleks Markas Komando Inrehab P. Buru itu. Hening. Berbeda dengan gemuruh didada saya merasakan sesuatu lewat sorot mata dan ekspresi wajah pak Pram, seakan ada sesuatu yang akan meledak dari dalam dada beliau.
-- Semua sudah musnah! -- Terhenti sebentar dengan bibir bergetar dan mata tajam masih melumat mataku. Aku menunggu dengan perasaan tidak menentu karena tidak tahu arah yang mau disampaikan.
-- Semua sudah hancur porak poranda bersama rumahku. Semua sudah dihancurkan penguasa Orde Baru . . . . ! – Meledak sudah apa yang selama tadi mengeram didada pak Pram. Dengan wajah masih kelihatan angker, pak Pram melanjutkan letupan-letupan hatinya seakan menyesalkan perbuatan mereka dengan berkata :
-- Mengapa tidak rumah saya saja yang dirusak? Mengapa dokumen-dokumen itu ikut dimusnahkan? Semua itu dokumen bersejarah! Dokumen tentang Kartini, sejarah bangsanya sendiri . . . . ? – Saya ikut terhenyak merasakan penyesalan mendalam yang sempat membebani batin pak Pram berkaitan dengan penulisan bukunya “Panggil Aku Kartini Saja”.
Perasaan saya nglangut.
 Di luar sana, didalam barak diluar kamar pak Pram, kawan-kawan bersendau gurau sehabis mandi ditepian sungai Wai Apo, usai bekerja sepanjang hari. Mereka tinggal satu barak dengan pak Pram. Hanya pak Pram dibuatkan kamar tersendiri dengan “difasilitasi” mesin ketik butut. Aku sendiri mampir ke pak Pram dari corve ke Mako. Dari sinilah lahir karya-karya sastra Pramudya A.T. yang besar dan terkenal itu. Sejak Naskah drama Mangir Wonoboyo, Arus Balik, Tetralogi Bumi Manusia, Rumah Kaca dan masih banyak lagi.

Teriring salam buat keluarga, semoga arwah Pak Pram diterima disisi Tuhan sesuai dengan amal baktinya sebagai aktifis PEJUANG HAM.

Tulisan ini saya persembahkan kembali kala mengenang Hari Lahir Kartini 21 April 2013. Semoga mampu menggugah ingatan kita tentang Kartini.

IBU KITA KARTINI – (W.R. SUPRATMAN)
Ibu kita Kartini
Putri sejati
Putri Indonesia
Harum namanya
*courtesy of LirikLaguIndonesia.Net
Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendekar kaumnya
Untuk merdeka

Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

Ibu kita Kartini
Putri jauhari
Putri yang berjasa
Se Indonesia

Ibu kita Kartini
Putri yang suci
Putri yang merdeka
Cita-citanya

Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

Ibu kita Kartini
Pendekar bangsa
Pendeka kaum ibu
Se-Indonesia

Ibu kita Kartini
Penyuluh budi
Penyuluh bangsanya
Karena cintanya

Wahai ibu kita Kartini
Putri yang mulia
Sungguh besar cita-citanya
Bagi Indonesia

            Saya bacakan kembali pada peringatan Hari Lahir Pramudya AT di Blora pertengahan Pebruari 2013, sekali gus bedah buku ”Pram dari dalam” karya Susilo Toer – adik pak Pram.

Sabtu, 05 Oktober 2013

EMAK


            EMAK


            Aku dhewe wis tau kondho-kondho karo bapak, emak lan tangga-tanggaku nek ning Semarang gedhung-gedhung kantore pki podho dirusak lan diobong.
-   Iso ugo rusak-rusakan lan obong-obongan mremen tekan kene, lho bung – kandhaku menyang tangga teparoku.
-   Lha kene gak ono kantore pki kok dhik? Koyo kantor CSS *) Margoyoso kae kan omahe pak Jamin?!-  Gari, cah Pemuda Rakyat, takon nyambung omonganku sing wiwit mau melu ngrungokno.
-   Yo cik kantor, opo omah pribadi nanging nyatane dienggo kantor – sumaurku
-   Lha omahe lik Wondo iki dhak ono thomprange pki ? – semambunge Gari karo noleh njobo ngingeti papan nama, sing dikandhakno thomrang  mau,  ono tulisane  COMITE RESORT – CR PKI **) – Desa SIDOMUKTI.
-   Yo waspodo ae ngadepi kahanan sing awake dhewe ora ngerti iki. – bapak nengahi omongan - Awake dhewe ora ngreti sikon sing bener iki piye. Lha pak Jamin yo ora ndenger. Soko Pati yo ora ono petunjuk opo-opo. Paling-paling berita seko koran. Harian Rakyat yo gak ono teko. Awake dhewe iki buta berita. – Soewondo, bapakku menehi pangerten lan minongko pimpinan pki ing desaku, ngelingke supoyo waspodo.
-   Lha awake dhewe terus piye le ? – emakku sing wiwit mau ngrungokake omongan ning emper omah, karo isih nggulung udet  melu-melu nguatirake kahanan iki.
-   Yo emak ae wiwit nicil resik-resik barang-barang opo surat-surat. Layang sing penting disimpen, didhelikke sing primpen. – semambungku ngguroni.

Iku naliko aku mulih tilik omah, sakbubare obong-obongan kantor-kantor pki ing Semarang watoro sasi Oktober 1965. Tak critakke tangga-tanggaku kahanan ning Semarang, bareng ditekani RPKAD kahanane mirisno wong. Menowo ae sing miris wong-wong koyo aku iki. Malah aku tau lagi jajan es ning Kampung Kali, ning cedhakku ono tentara 2 ugo lagi jajan. Sing siji KKO, sing siji RPKAD podho gowo bedhile. Pengertine wong umum yen KKO iku mbelani Bung Karno. Wong-wong sing podho jajan pating klirik, malah ono sing terus lungo. Wedi nek breng, jarene.
Bareng kutho Semarang ditekani RPKAD, massa sing anti pki tambah bringas kanthi ngrusak lan ngobongi kantor-kantor PKI. Mbuh pekoro opo, kok njur ana rusak-rusakan. Sasarane Kantor CDB ***)  ning Jl Imam Bonjol, CK ****)  ning Jl Pemuda, Gedung Universitas Respublika duweki Baperki, cedake CK lan isih akeh meneh. Rusak-rusakan lan obong-obongan ora mung sedino. Semono ugo kantor CGMI *****) ing dalan Widoharjo diobrak –abrik. Masyarakat umum durung  dong kedadeyan tg 30 September ning Jakarta. Ngertine yo soko koran lan radio. Tegese durung ono penerangan sing bener sako pemerintah setempat. Ono pembunuhan Jendral jare sing ndalangi PKI. Wong-wong durung patio percoyo yen PKI, opo bener Pemuda Rakyat lan Gerwani podo mateni Jendral ning Lobang buaya koyo berita koran?  Mbok menowo pancen Semarang termasuk basis PKI, mulo ora ngono ae percoyo yen PKI nduweni trekah koyo mengkono mau. Lha wong ndek wulan Mei, limang sasinan kepungkur ning Semarang yo bar dianakake Ulang Tahun PKI sing kaping 45 geden-gedenan. Wong-wong isih podho kelingan yen Kawan Ketua Aidit ngandakake yen karo konco jor-joran yen karo musuh dor-doran. Mulo PKI nganakake ulang tahun geden-gedenan , jor-joran. Dene karo musuh dor-doran. (karepe  bedil-bedilan – perang). Naliko kuwi lagi konfrontasi karo  Malaysia, gabungane negoro Malaya, Brunai lan Kalimantan Utara / Serawak sing diprakarsai Inggris kanggo ngepung Indonesia sing kanggone Inggris lan Amerika, Indonesia melu blok Timur dianggep Komunis. Mulo proyek Nekolim sing pancen dimusuhi karo Bung Karno  lan pemerintahane, Bung Karno ngajak kabeh rakyat Indonesia nggagalake adege negoro Nekolim Malaysia, kanthi prentah sing terkenal LAKSANAKAN  DWI KORA.
Luwih-luwih Ulang Tahun PKI ning Jakarta. Gelora Bung Karno sing wani ngeggoni pisanan yo PKI. Amargo sopo ae sing nganggo – naliko kuwi – kuwatir lan isin menowo pengunjung gak iso ngebeki gedung olah raga terbesar ning Asia Tenggara mau. Jebul massa PKI sing arep melu merayakan ulang tahun mbludak. Gelpra Bung Karno gak muat.

Wektu kuwi aku dhewe kos ning kampung Bugangan Semarang. Unen-unene mahasiswa. Wong desaku lagi siji thil aku, sing iso neruske kuliah. Aku mahasiswa yang pertama dan yang gagal. Lan nek ning kecamatan isih iso dietung driji.

Aku wis bali Semarang. Sawijining dino bapak teko ning kosanku, omahe rondho anak 3 saben dino dodol wedang coro ning pasar Dargo. Bapak lendehan kursi ning ruang tamu karo kancing klambine dibukak 2. Klambine setengah mbledheh karo kipas-kipas. Sumuk.
            -   Onten nopo pak? -  pitakonku karo melu lungguh ning 
                 ngarepe bapak.
            -   Omahe wis dirusak kok le . . .  Aku dhewe gak wani turu 
                 omah . . . -  Cekak aos. Tambah keterangan sithik, gak  
                 wani turu omah.
Bareng omahku melu dirusak tenan, koyo ora ngandel yen omonganku biyen bener. Meneng gak ono sing omong. Ning njobo cino sing manggon ning pawon omah kosanku, wonge ora nduwe, dodol bolang baling karo gelek,  anake ndrindhil, nyengeni anake sing lagi nangis.
              -  Ben, nko tak kon nggowo RPKAD . . . !  – Aku krungu mesem kecut sak jrone ati. Iki kahanan opo? Tentara kok ndi nggo medeni bocah kaya gendruwo ae?
Bapak ora wani turu omah amargo yen bengi ono massa anti pki podho rondha keliling kampung.

     -   Piye le? Kowe gak muleh? Saake ibuem nguatirke      
         kahananem. – pitakone bapak ngagetno aku.
     -   Nggih pak kulo wangsul –  Wangsulanku kanthi menyat  
         arep tata-tata. Aku saake emak.  Mesthi pikirane emak  
         nguatirake aku sing ning paran.
Wiwit cilik aku yen ngundang ibuku “emak”. Bareng aku ngreti kutho amargo isin karo kancaku, sok-sok  aku ngudang ibu.

Aku mulih bareng bapak. Barang-barang sing perlu tak gowo mulih tak ringkesi, klebu kompor lengo liyun. E mbok menowo emak butuh masak, batinku. Aku kos masak dhewe sak isa-isaku. Luwong rodo ngirid. Tekan Pati wis watoro jam papatan. Wis ora ono kendaraan ngalor arah Tayu. Mulo aku karo bapak terus bablas Juwono. Yen ing Juwono isih ana montor-trek liwat sing bisa dinunuti.
Aku lan bapak entuk nunutan trek medhun Pangkalan. Liwat sersier / tanggul saluran bendungan, ngliwati sawahe bapak. Njur Bapak leren mbedahi galeng sawah, ngilekke banyu.
Tekan omah surup.
Latarku kebak pecahan kentheng lan beling, terus bekas obong-obongan. Yen mlaku kudu ati-ati yen ngidak beling. Omahku temboke pating growoh, godongan jendelo lan lawang sebagian pating blaker ning latar. Yen ndengak sing ketok langit, kentenge ajur. Sumurku sing jerone 20an meter dadi kebeg. Ora kebek banyu nanging samu barang duweke wong tuwaku sing iso dijegurke sumur, koyo grabah, kasur, pari ayaran (naliko kuwi yen panen pari diayari/ digendel tali, gak koyo saiki wis rupo gabah). Opo bae dilebokno sumur nganti kebek. Trekahe massa anti pki. Bareng aku teko, emak nangis ngglolo.
-  Wis mak gak usah ditangisi. Suk nek wis aman omahe digawe tingkat pitu. Karo patung iki ditemplekno tembok – pangarih-arihku menyang ibu.  Batinku mangkel ning kahanan iki. Aku njupuk patung sing digawe soko gibs sing wis cuwil melu dirusak massa. Gemlethak  antarane rumbukan barang-barang sing dirusak Reco tak jupuk tak liling cuwil jenggote.

-   Walah le le wong reco brewok ngono ae mbok senengi  –   Aku kelingan komentare emak ndek aku milih tuku patung Karl Marx iki, naliko aku sak keluarga melu rombongan ziarah ning Gunung Kawi.

Sak desaku ono sawetoro omahe konco-konco sing dirusak bareng omahku. Omahe lik Rodo malah soko gurune digraji nganti merid arep dirubuhno, omahe lik Supar kuwuk. (Wadanani kuwuk, kancane bapak sing melu ning Jakarta). Lan akeh maneh.
Wiwit obong-obongan mau, wong-wong sing duwe omah dirusak gak wani turu omah. Turu ndelik amargo kuawatir dimassa. (dicekel bareng-bareng dening massa karo digebuki, Iku jare dimassa). Bapakku dhewe ndelik ning pinggir kali opo tengah tegal.
Bengi kuwi ono konco Pemuda Rakyat 3 sing jogo ning omahku sing wis rusak mau.  Bung Gari teko-teko nakoni aku  karo bapak.
-   Ko Semarang mau nggowo opo dik?
-   Nggowo opo? – aku genti takon mergo tak rasakno pitakone bung Gari rodo nyujanani. Tak eling-eling, gawanku mau opo.
-   Ransel isi pakaian karo kompor lengo liun, lha iku barange isih bungkusan koran . . . -  sumaurku  karo nudingi buntelan kompor sing gemlethak ning jogan.
-   Lha yo iki. – Gari nyambung karo niliki buntelan. Disuwek buntelan korane. Ketok yen kompor. Aku lan bapak durung ngerti opo karepe bung Gari.
-   Sampeyan mau lewat sawah lik? – Meneh pitakone Gari nambahi penasaran, nginterogasi bapak.
-   Yo. Geneyo? Aku leren ngilekke banyu.- sumaure bapak cekak kanti pasuryane serious lan mandeng  ngenteni omongane bung Gari.
-   Ngene lik lan dik Bambang, omah kene iki arep dikepung masa bengi iki, goro-goro ono wong sing meruhi yen lik Wondo jare golek bantuan ning Semarang, mulih karo anakke nggowo granat . . . . -
Wong limo podo tolah toleh pandeng-pandengan. Sak pleretan ana rasa miris ngadepi kahanan naliko kuwi, Senajan kepikir mosok kompor dikiro granat.
Biso ae naliko kuwi.. Bapak mutusake yen penjagaan tetep dianakake. Mung ndeleng situasi yen gak aman mlayu ndelik, golek slamet. Emak dewe wis diungseaki turu ning omahe tonggo sing omahe gedhek. Mak Ngadirah. Rondo peturone saka pring, reyot. Nek dinggo turu wong loro iso ambruk. Mulo emak trimo nggelar kloso turu lemah. Emak tansah gragapan, keweden.

        -   Yu, yu . . . iko abane ono tentara. Aku tak ndelik ngisor        
             longan yo, yu . . . .-
-   Endi leh nduk – makdhe Ngadirah medun seko peturon   
     nyedaki emak sing  mbrangkang arep mlebu ngisor longan   
     amben. Wedi. 
-   0ra ono tentara kok ndhuk . . . – Karo tolah toleh nelingke 
     swara. Mak Ngadirah ngarih arih emak. Ing tengah wengi 
     mampring iku mung keprungu swarane uplik sing lengane 
     arep entek. Bluk . . . bluk . . . bluk . . .

Amargo keweden pangirane emak swarane uplik arep mati dikira sepatune tentara. O alah mak, mak. Mesakke temen uripmu ; goro-goro melu dadi korban anane peristiwa G30S ning Jakarta  . . . . . Wong wedok paling rekoso!!


*)         :  CSS    :  Comite Sub Seksi. Kepengurusan PKI tingkat 
                             Kecamatan.
**)       :  CR      :  Comite Resort. Kepengurusan PKI tingkat Desa.
***)     :  CDB   :  Comite Daerah Besar. Kepengurusan PKI 
                              tingkat Propinsi
****)   :  CK      :  Comite Kota. Kepengurusan PKI tingkat Kota 
                              praja.
*****) :  CGMI :  Consentrasi Gerakan Mahasiswa Indonesia, 
                              salah sijine Organisasi Mahasisiwa Non          
                              Universiter, sing Progresif Revolusioner Non 
                              Komunis.